Belajar Literasi Sains dari Buku Burung-burung Nusantara
Belajar tidak selalu harus di ruang kelas dengan buku teks dan lembar soal. Kadang, pengetahuan justru datang dari rasa ingin tahu dan percakapan ringan yang penuh tawa. Begitulah yang terjadi pada Vino dan Vano, dua siswa kelas 2 yang hari itu diajak untuk belajar literasi sains dengan cara yang menyenangkan melalui pembelajaran sebuah buku lapangan berjudul “Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan”.
Buku ini bukan sembarang buku. Diterbitkan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), buku karya John MacKinnon, Karen Phillipps, dan Bas van Balen ini dikenal sebagai panduan klasik bagi para pengamat burung di Indonesia. Isinya sangat lengkap, mulai dari deskripsi fisik, perilaku, habitat, hingga ilustrasi warna-warni dari ratusan jenis burung yang hidup di berbagai pulau besar di Nusantara, termasuk Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam.
Begitu halaman pertama dibuka, mata Vino dan Vano langsung tertarik oleh gambar-gambar burung berwarna hijau, biru, dan merah mencolok. Mereka saling berebut menunjuk gambar favorit, lalu membaca keras-keras nama-nama burung yang terdengar unik di telinga mereka.
Di sela-sela kegiatan membaca di TBM Bintang Brilliant, tawa sering kali pecah. Nama-nama burung yang unik seperti burung Kuntul atau Belkok terdengar lucu di telinga anak-anak. Namun justru dari rasa ingin tahu dan keceriaan itulah muncul semangat belajar. Mereka belajar mengeja nama-nama ilmiah, mengamati bentuk paruh dan warna bulu, bahkan menebak habitat burung dari deskripsi yang dibaca.
Melalui kegiatan ini, literasi sains tidak lagi terasa sulit. Anak-anak belajar dengan cara yang alami, dari rasa ingin tahu, dari kekaguman terhadap alam, dan dari tawa yang lahir saat belajar bersama.
Kegiatan membaca ini juga menjadi kesempatan bagi orang dewasa untuk menumbuhkan kecintaan anak pada alam sejak dini. Tidak perlu peralatan canggih, cukup satu buku dan waktu bersama yang berkualitas. Dari situ, percakapan kecil bisa berkembang menjadi diskusi menarik. Anak-anak bisa diajak untuk mencari tahu lebih lanjut tentang burung yang mereka baca — misalnya dengan menonton video dokumenter, menggambar burung favorit mereka, atau bahkan melakukan pengamatan langsung di taman atau halaman rumah.
Baca Juga : Literasi Sains, Apakah Hanya Baca?
Di tengah derasnya arus teknologi dan hiburan digital, kegiatan seperti ini terasa menyegarkan. Literasi sains tidak harus selalu serius atau penuh teori. Justru lewat tawa dan rasa ingin tahu, anak-anak bisa membangun fondasi berpikir ilmiah yang kuat: mengamati, bertanya, menebak, dan mencari tahu jawabannya sendiri.
Vino dan Vano mungkin belum memahami seluruh isi buku itu, tapi semangat mereka untuk membaca dan belajar sudah tumbuh. Siapa tahu, dari halaman-halaman buku Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan ini, akan tumbuh calon-calon peneliti, pengamat burung, atau penulis sains masa depan yang mencintai alam dan pengetahuan.
Karena pada akhirnya, belajar bukan soal menghafal fakta, melainkan tentang menemukan rasa ingin tahu dan menjaga api pengetahuan tetap menyala, bahkan lewat nama-nama burung yang membuat kita tersenyum.
Tidak ada komentar
Harap berkomentar dengan sopan dan sesuai topik