Diksi-Diksi Indah Lewat Parade Puisi
Hari ini TBM Bintang Brilliant kembali menggelorakan literasi. Kali ini, delapan anak tampil berani di depan teman-temannya dalam kegiatan bertajuk Parade Baca Puisi. Bukan hanya membaca, mereka belajar bersuara, mengekspresikan diri, dan membangun keberanian yang perlahan tumbuh dari bait-bait sederhana.
Kegiatan parade baca puisi ini mengambil beberapa puisi dari buku "Puisi Enam Tiga: Refleksi dan Obsesi Anak Emak" karya Abdul Cholik. Dengan gaya bahasa yang segar dan temanya yang dekat dengan keseharian, buku ini menjadi jembatan yang pas untuk memperkenalkan puisi kepada anak-anak.
Anak-anak dan Keberanian Baru
Setiap anak diberi kesempatan memilih satu puisi saja bukan puisi berantai untuk dibacakan. Di awal, beberapa dari mereka masih ragu. Ada tangan yang gemetar, suara yang lirih, dan mata yang mencari-cari dukungan dari kawan. Namun setelah beberapa detik, kata demi kata mulai mengalir. Supaya tidak terlalu terekspos, sengaja wajahnya ditutup.
Mereka tidak hanya membaca, tapi mulai menghayati. Ada nada marah, sedih, bahagia—semua muncul alami dari dalam diri mereka. Bukan karena diminta, tapi karena mereka memahami isi puisi dengan perasaan sendiri.
Inilah makna sejati dari literasi: ketika kata menjadi suara hati.
Belajar Mengekspresikan Diri
Sebelum tampil, anak-anak diajak mengenal unsur diksi. Mereka berdiskusi tentang mengapa penulis memilih kata-kata tertentu. Hal ini membuka ruang eksplorasi yang menyenangkan. Mereka mulai menyadari bahwa kata-kata bisa dipilih bukan hanya karena bunyinya, tapi juga karena maknanya yang dalam.
Kemudian mereka berlatih membaca puisi dengan intonasi dan ekspresi. Pendamping tidak sekadar mengoreksi, tapi memberikan ruang untuk setiap anak menemukan gaya mereka sendiri. Beberapa anak bahkan meminta mencoba lebih dari sekali karena merasa, “belum pas suaranya.”
Kegiatan ini menjadi pelatihan alami dalam seni berbicara di depan umum.
Rasa Percaya Diri yang Bertumbuh
Satu momen yang tak terlupakan adalah ketika seorang anak yang biasanya pemalu maju ke depan. Ia membawa puisinya dengan tangan gemetar, tapi tetap berdiri. Suaranya pelan, tapi tiap kata terasa.
Saat ia selesai membaca, teman-temannya memberi tepuk tangan spontan. Bukan karena sempurna, tapi karena ia berani. Di sinilah uniknya kegiatan ini terlihat. Anak-anak belajar bahwa keberanian bukan berarti tanpa takut, tapi tetap tampil meski takut.
Dari puisi, mereka belajar tentang suara. Dan dari suara, tumbuh rasa percaya diri.
Puisi sebagai Sarana Pertumbuhan
Kegiatan parade baca puisi ini bukan tentang mencari siapa yang paling fasih, tapi tentang memberi ruang. Ruang bagi anak-anak untuk menyuarakan isi hati, mengekspresikan pikiran, dan merayakan keberanian yang muncul dari dalam.
Di akhir sesi, sebagian anak berkata ingin membuat puisinya sendiri. Bagi kami, inilah hasil terbaik: ketika kegiatan literasi mendorong anak-anak untuk mencipta, bukan hanya menerima.
Tidak ada komentar
Harap berkomentar dengan sopan dan sesuai topik